Pencurian Ikan, kapan akan berakhir ya?

Gemas juga ya baca berita kalo di negeri sendiri banyak sumberdaya ikan yang dicuri, sementara nelayan nusantara tertembak di negeri orang, karena mengejar ikan yang semakin sulit ditangkap. Pada saat yang sama kita juga sering membaca, mendengar, atau melihat konflik nelayan makin sering terjadi.
Akhir September yang lalu kapal pengawas DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) berhasil menangkap 10 kapal ikan Thailand dan Vietnam bersama 105 awaknya ketika sedang mencuri ikan di kepulauan Natuna (suarapmbaruan.com). Nah, kapal-kapal tersebut tentu tidak seperti kapal yang dibrondongi peluru oleh tentara Papua New Guinea atau Malaysia beberapa waktu yang lalu, tetapi kapal mereka ini berteknologi canggih dengan bobot 100-400 GT (gross ton). Menurut hitungan pemerintah sih kerugian negara karena aktivitas penangkapan ikan ilegal seperti ini mencapai Rp 30 triliun per tahun, wow. Tentu angka yang fantastis dibandingkan kontribusi sektor perikanan yang tidak sampai Rp 500 miliar ke kas negara (dalam bentuk PNBP alias pendapatan negara bukan pajak).

Sejak DKP dibentuk di tahun 1999 yang lalu, isu ini memang terus menjadi berita. Ketidakmampuan kita mengawasi laut kita karena armada pengawasan yang terbatas baik yang miliknya Angkatan Laut maupun DKP, sudah sering kita dengar. Sementara, dalam upaya mengurangi tekanan pemanfaatan sumberdaya secara ilegal ini, pemerintah juga mulai menutup ijin usaha penangkapan ikan dari negara lain kecuali jika mereka mau bekerja sama dalam skim yang telah ditetapkan pemerintah seperti membangun industri pasca panen di dalam negeri. Apakah mereka mau? Tentu bukan pekerjaan yang mudah, karena itu tentu saja akan mengorbankan industri pasca panen di negeri penangkap ikan ilegal ini.

Alasan yang paling logis kenapa pemerintah masih tetap berharap pada armada perikanan asing ini adalah karena struktur perikanan kita sendiri masih sangat lemah. Nah, sebagai ilustrasi singkat coba deh perhatikan gambar struktur armada perikanan kita pada gambar di atas. Ternyata ya, lebih dari 50 persen adalah perahu tanpa motor dan jika ditambah dengan kapal ukuran 5 GT ke bawah, maka 3/4 armada perikanan kita adalah kapal-kapal kecil. Gimana kira-kira mau bersaing dengan kapal Thailand, Korea, China atau Jepang ya? Kalopun nelayan kita akan bersaing mungkin ya bersaing diantara sesama yang kecil-kecil itu dan susahnya kalo terlalu kuat persaigannya sering berakhir dengan konflik. Sebenarnya masalah seperti ini sudah lama diketahui dan sering diungkap, tapi ya perubahannya tetap saja berjalan lambat ya. Sementara setiap tahunnya kita membaca pemerintah pasang target yang selalu lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan tentu saja sektor perikanan tangkap ini diharapkan menjadi kontributor utama. Misalnya tahun ini targetnya produksi ikan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1%. Bisakan itu dicapai dengan struktur perikanan seperti saat ini? Rasanya berat sih! Kecuali tetap berbaik hati dengan para penangkap ikan ilegal itu. Walahu’alam deh!

Let`s share knowledges, sciences, and experiences
Technology, Partnership & Equality