Berburu si Sirip Biru sambil Menabuh Genderang Perang

Sejak pertengahan Agustus ini beberapa media massa Australia mengangkat salah satu isu besar perikanan, yaitu “illegal fishing”. Sumberdaya apa yang menjadi topik dan siapa yang menjadi “tertuduh” akan menarik kita perbincangkan karena: 1) ikan yang menjadi isu adalah spesies yang telah dikategorikan sebagai jenis yang terancam (punah) oleh komisi konservasi dunia atau IUCN, yaitu tuna sirip biru dari selatan (southeren bluefin tuna, SBT) (IUCN Red List of Threatened Species), 2) yang tentu saja masih terus diburu karena nilai ekonominya yang sangat tinggi. 3) Pihak yang menjadi sasaran Australia kali ini adalah Jepang, yang telah dikenal sebagai produsen dan konsumen terbesar jenis ikan ini. 4) Namun tentu patut kita catat bahwa Australia juga menjadi salah satu pemburu terpenting dari SBT. Dengan demikian, bagaimana “pertarungan” argumen dua raksa pemburu tuna ini menarik kita cermati, apalagi kita (Indonesia) juga menjadi salah satu pemain di dalamnya yang sangat mungkin terimbas oleh tabuhan genderang perang tersebut.

Apa yang membuat Australia gusar?

Adalah Richard McLoughlin, Direktur Pengelolaan pada Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia, yang memaparkan beberapa data kecurangan yang dilakukan oleh Jepang, yang tentu menjadi pesaing utama Australia dalam perikanan tuna SBT ini. Seperti dikutip Australian News.Net 12 Agustus yang lalu dan beberapa media lain (seperti ABC News, Reuters, the Age, dan the Sydney Morning Herald), Jepang telah diduga menangkap SBT secara ilegal dengan nilai yang fantastis yaitu 2 milliar dolar Australia atau setara US$ 1,53 miliar dalam kurung waktu 15-20 tahun terakhir. Dari sisi produksi diperkirakan jumlah total hasil tangkapan ilegal atau yang tidak dilaporkan oleh Jepang diperkirakan mencapai 12.000 sampai 20.000 ton selama 20 tahun terkahir. Angka ini mungkin lebih besar lagi karena juga diduga bahwa ribuan hingga puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, karena SBT langsung dijual pada perusahaan pengumpul (retailer).

Faktor apa yang memperkuat dugaan Australia ini? Dua hal yang kiranya patut dikemukan yaitu 1) keengganan pihak Jepang memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan 2) juga keengganan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya. Demikian kira-kira pendapat pihak Australia seperti diberitakan dalam beberapa medianya.

Lalu apa tanggapan pihak Jepang atas tuduhan ini?

Seperti telah diatur dalam CCSBT (Commison for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) Jepang memiliki kuota SBT sebesar 6.065 ton per tahun. Pihak Jepang seperti dilaporkan Yahoo!7 News memang telah mengumumkan diawal tahun ini bahwa terjadi penangkapan SBT melebih kuotanya sebesar 25 percent. Namun, Jepang dengan tegas menolak tudingan Austalia tersebut. Pihak Jepang berpendapat bahwa terlalu dini menanggapi klaim tersebut dan tentu saja negeri sakura ini lebih senang mendorong isu tersebut untuk dibahas di lembaga konservasi (CCSBT) khususnya dalam pertemuan Oktober mendatang. Apalagi perikanan Australia juga diduga menjadi salah satu biang penurunan stok SBT. Masayuki Komatsu, Deputi Direktur pada Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency, seperti dikutip the Age mengklaim bahwa perikanan purse seine Australia telah menangkap juvenil (anakan) SBT dalam jumlah besar dan secara hipokrit menjualnya ke pasar Jepang. Sehingga, tidaklah salah jika dikalangan pemerintahan di Jepang ada yang berpendapat bahwa isu ini di”blow up” hanya untuk kepentingan para nelayan Australia sendiri dan kelompok lingkungan hidup. Apalagi dengan kuota 5.000 ton per tahun Australia dapat meraup sedikitnya 40 juta dolar Australia per tahun, tentu keuntungan yang tidak sedikit buat nelayan dan industri perikanan Australia secara umum.

Adakah isu semacam ini punya dampak pada perikanan kita?

Walaupun kita merupakan salah satu negara produsen utama ikan tuna, tetapi untuk jenis SBT kontribusi produksi Indonesia hanya 5% dari total hasil tanggkapan global (angka sementara yang dilaporkan CCSBT diperkirakan total hasil tangkapan SBT sebesar 13.490 ton pada tahun 2004). Hasil tangkapan Indonesia sebesar 677 ton pada tahun 2004 tersebut sedikit meningkat dari tahun 2003, tetapi jauh dibawah hasil tangkapan dalam kurung waktu 10 tahun sebelumnya (1992-2002), yang berkisar antara 750 sampai 2.500 ton. Sementara hasil tangkapan tertinggi dicapai pada tahun 1999 mencapai 2.504 ton.

Barangkali sangat sulit atau mungkin mustahil untuk berharap Indonesia mengulang capaian tahun 1999, yaitu dengan produksi di atas 2000 ton. Hal ini bukan saja karena performa perikanan tuna SBT kita sedang atau telah menurun, tetapi juga genderang perang di atas sedikit banyak akan mendorong pengaturan perikanan yang lebih ketat terutama oleh CCSBT di masa mendatang. Permasalahn lainnya juga kita bukanlah anggota dari komisi ini (CCSBT) dan kalaupun ikut dan terlibat dalam pertemuan CCSBT hanyalah sebagai peserta dengan hak bicara saja tanpa hak suara. Akibatnya kita hanya mengikuti apapun yang dihasilkan oleh CCSBT termasuk dalam penentuan kuota (pemberian kuota pada masing-masing negara merupakan salah satu ciri model pengelolaan SBT yang dilakukan oleh CCSBT). Pada periode tahun 2005-2006 oleh CCSBT kita hanya diberi kuota sebesar 800 ton per tahun, di bawah kuota Korea Selatan dan Taiwan yang masing-masing memperoleh 1.140 ton per tahun (keduanya menjadi anggota CCSBT masing-masing pada tahun 2001 dan 2002).

Dengan posisi yang tidak terlalu kuat seperti itu, Indonesia tentunya perlu bersiap-siap jika genderang perang itu berbelok arah ke negeri ini. Sebagai peringatan saya ingin mengutip potongan komentar Brian Jeffries dari Asosiasi Pemilik Kapal Tuna, Australia seperti dirilis ABC Local Radio ……Japan did over catch in 1999 and are reducing their catch into year 2000 by the amount of their over catch in 1999……..Now, Australia did exactly the same thing…….I think labeling Japan is realy missing the issue. The issue is these unregulated countries….. Negara manakah yang dimaksud oleh Jeffries? Tentu saja salah satunya negeri kita ini. Siapkah kita dengan jawaban yang memadai dan “bertempur” di medan ini atau memenangkan sebagian dari pertempuran itu? Walaupun Indonesia masih bukan negara members dari CCSBT, kita berharap jawabannya siap. Apalagi dengan telah diketahuinya salah satu bagian dari wilayah kita sebagai tempat pengasuhan/pemijahan jenis ikan ini, kita berharap itu menjadi salah satu amunisi untuk memperkuat daya tawar yang lebih baik. Walahu’alam.

Ami machi, 29 Agustus 2006

Suadi

e-mail: suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id
Let`s share knowledges, sciences, and experiences
Technology, Partnership & Equality